Ketika yang SAKRAL jadi SANTAI

Beberapa minggu lalu saya pertama kali mendengarkan lagunya Farel Prayogo berjudul Ojo Dibanding-bandingke. Saat itu saya nggak begitu jelas dengar liriknya keseluruhan. Saya pikir, karena penyanyinya anak kecil, mngkn maksudnya adalah bahwa anak itu jangan dibanding-banding dg anak orang lain atau saudaranya. Itu bikin anak kesel dan ngambek. Tapi ternyata itu lagu cinta-cintaan. Kurang lebih intinya, dirinya jangan dibanding-bandingkan dengan pria lain oleh sang pacar.


Saya jadi merasa aneh, ini anak masih kelas 6 SD umur 12 tahun, nyanyi lagu yang tidak pantas buat dirinya. Atau mungkin yg saya kudet, apakah jaman sekarang anak kelas 6 SD sudah pacar-pacaran? Mungkin ada sih satu dua. Bahkan yang kasus hamil juga ada. Tapi pada umumnya anak usia SD belum kenal pacaran seperti halnya orang dewasa. Coba kita perhatikan lirik lagunya:

Wong ko ngene, kok dibandhing-bandhingke

Saing-saingke? Ya, mesthi kalah

Tak oyak'a, aku ya ora mampu

Mung sak kuatku mencintaimu


Ku berharap engkau mengerti

Di hati ini hanya ada kamu


Jelas beda yen dibandhingke

Ora ana sing tak pamerke

Aku ra isa yen kon gawe-gawe

Jujur, sak anane


Sapa wonge sing ra lara ati?

Wis ngancani tekan semene

Nanging kabeh ora ana artine

Ra ana ajine

Karena lagu ini kategori dang dut atau campur sari, pasti penyanyi lain dan penontonnya orang dewasa. Bisa dibayangkan penyanyi perempuan lain di atas panggung seperti apa modelnya. Apa ya pantas anak kelas 6 SD manggung bersama penyanyi dangdut lain yang kadang (sering) berpakaian seronok?

Mungkin banyak orang bangga dengan prestasi anak ini. Bukan saya tidak bangga, tapi saya justru khawatir akan proses kejiwaan anak ini. Juga saya khawatir anak2 lain seusianya menganggap pacaran saat SD itu biasa, karena lagu ini. 

Kalau memang dia berbakat, pasti ada cara lain yang lebih manusiawi dan sesuai dg perkembangan anak seusia itu. Orang tuanyalah yang mengarahkan. Bakat anak tetap baik atau menjadi buruk karena orang tua, sebagaimana hadits Nabi saw kullu mauludin yuladu alal fitrah.

Yang agak merepotkan lagi, anak ini diundang ke istana. Bukan dalam jamuan pesta 17an istana, tapi saat upacara peringatan 17an yg resmi dan sakral. Bagaimana jika arwah para pahlawan yang telah meneteskan darah dan air mata hidup kembali dan menyaksikan kejadian joget2 di saat peringatan kemerdekaan? Kalau mereka bertanya, apa jawab kita? Apakah akan dijawab, "Kami butuh healing pak..."?

Tapi ya begitulah. Jaman sekarang ini sepertinya kita paling hanya bisa menyelamatkan anak2 kita sendiri saja. Sudah bagus kalau anak kita tidak ikut2an. Semoga Allah senantiasa melindungi diri dan keluarga kita dari fitnah jaman.

*Dikutip dari facebook Budi Handrianto

Posting Komentar untuk "Ketika yang SAKRAL jadi SANTAI"